It's me....

It's me....
senyum melulu :)

Kamis, 17 November 2011

Hujan Cinta di Langit Yogya


Sudah dua minggu ini anak baru dari Jakarta itu menjadi penghuni kelasku dan duduk sebangku denganku. Anak baru bertubuh jangkung atletis itu bernama Rain, kependekan dari Raindra Tata Adiswara. Wajahnya sejuk dipandang, rambutnya agak gondrong berwarna kecoklatan. Otaknya encer di hampir semua pelajaran, khususnya Bahasa Inggris dan Sosiologi. Karena itulah nilaiku turun akhir-akhir ini. Oh ya, masih ada satu lagi kemampuannya. Jago basket! Yaa, kuharap untuk bidang yang satu ini dia tidak menyaingiku.
            Namun dibalik semua nilai plus-nya, sosok Rain adalah makhluk paling menyebalkan yang pernah kutemui. Gayanya cuek abis, bicaranya ketus, suka sok memerintah, hobi marah-marah, dan suka merendahkan orang lain! Aku selalu menjadi korbannya! Itulah sebabnya mengapa dua minggu terakhir ini hidupku makin kacau. Kuharap dia tak lagi membuat kekacauan di hidupku.
            Pagi itu, setiba di sekolah...
            “Nay! Naya! Sini ikut aku!” aku terhenyak saat Ardi, sahabat dan rekan satu timku di basket menarik tanganku menembus kerumunan siswa.
            “Ada apa to, Di?!” tanyaku agak kesal. Ardi tak menjawab. Ia masih berlari sambil menggandengku. Tak lama kemudian, ia berhenti di tepi lapangan basket.
            “Ada apa, Ardi? Kok kita ke sini?”
            “Gawat, Nay! Gawat! Rain, Nay!” jawab Ardi panik.
            “Tenang, Di, tenang! Rain anak baru itu kenapa?” tanyaku. Ardi menghela napas, lalu menunjuk ke tengah lapangan. Tampak di sana anggota tim basket berbincang dengan Pak Bayu, pelatih basket, dan....RAIN!
            “Lho, Di? Rain kok gabung sama tim basket? Rain kan nggak ikut ekskul basket?” kini aku keheranan.
            “Itulaah Nay! Kenapa aku ajak kamu ke sini! Rain itu ditunjuk jadi kapten tim basket yang baru!” seru Ardi. Aku terbelalak.
            “Apa kamu bilang?! Rain jadi kapten tim?! Jadi dia gantiin aku?! Wah, ini nggak bisa dibiarin!” seruku emosi, berlari ke tengah lapangan.
            “Heh! Apa maksud lu ngelakuin semua ini, ha?!” semburku saat berhadapan dengan Rain. Tak kupedulikan pandangan heran para anggota tim dan Pak Bayu.
            Rain menjawab dengan cuek. “Gue nggak ngerti maksud lu, Nay.”
            “Alaaah! Nggak usah pura-pura bego deh lu! Sekarang jelasin! Kenapa lu selalu ngambil semuanya dari gue?! Kemarin jatah gue ikut lomba cerdas cermat lu ambil, lomba pidato Bahasa Inggris lu ambil juga! Sekarang lu mau ngerebut jabatan gue sebagai kapten tim basket! Maksud lu apa, Rain?!” aku makin marah.
            “Oh, itu..... Yaa... gue sih nggak maksud ngambil semua dari lu, Nay. Cuma gue rasa, emang gue yang lebih pantes dapetin semua itu, termasuk jabatan ini. Ya, biar basket bisa maju lah! Gue harap lu ngalah dikit deh! Udah saatnya lu pensiun jadi kapten tim!” jawaban Rain sungguh membuatku sakit hati.
            “Nggak bisa! Lu nggak bisa seenaknya ambil semua dari gue!” aku membentak Rain dan mendorongnya. Rain terhuyung, namun bisa berdiri lagi. Dia mulai emosi.
            “Nggak usah kasar gini deh! Akuin aja, kalau gue emang lebih jago dari lu! Percuma lu kayak gini juga, jabatan ini juga tetap jadi punya gue!” serunya. Aku hampir mendorongnya lagi, namun tiba-tiba Ardi menahanku dari belakang.
            “Udah, Nay! Cukup!”
            Aku melepaskan pegangan Ardi dengan paksa. “Nggak bisa, Di! Dia udah keterlaluan!”
            “Iya, tapi percuma Naya, kamu kayak gini juga nggak akan balikin jabatan kapten itu ke kamu. Itu keputusannya Pak Bayu. Udah, masuk kelas aja yuk! Udah bel tuh!” kata Ardi, diiringi suara bel masuk yang melengking panjang. Semua anggota tim dan Pak Bayu segera meninggalkan lapangan, begitu pula Rain yang melangkah dengan sombong. Aku melangkah gontai, masih diliputi kesal di hati. Ardi menjajari langkahku.
            “Udahlah Nay, sabar aja ya. Besok aja kamu coba ngomong ke Pak Bayu, kenapa tiba-tiba Rain dijadikan kapten baru tanpa konfirmasi ke kamu dulu. Semua masalah pasti ada solusinya. Udah ya, aku masuk dulu.” Ardi berbelok ke kelasnya, XI IPA. Sementara aku meneruskan langkah menuju kelasku di XI IPS sambil merenungi nasihat Ardi tadi. Ada benarnya juga. Tapi kenapa Pak Bayu tidak mengabariku kalau kapten tim diganti?
            Di kelas, semua siswa memberi selamat pada si Sombong Rain, atas prestasi barunya, merebut posisiku sebagai kapten di tim basket SMA Nusantara Yogya! Aku tak peduli.
            Siang ini, aku pulang sendirian. Biasanya aku pulang bersama Ardi, tapi hari ini Ardi ada les komputer. Aku pulang sambil menahan kekesalan yang menumpuk di pikiranku. Jam istirahat tadi, aku menemui Pak Bayu dan menanyakan alasan beliau mengganti kapten tim tanpa sepengetahuanku. Alasan Pak Bayu sangat mengesalkanku. Beliau bilang, kemampuan Rain sangat bagus dalam basket dan tim basket akan lebih berkembang jika dipimpin Rain. Aku mencoba protes, namun tak berarti. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa.
            Aku terus berjalan sambil mengunyah permen karet mint favoritku. Saat itu jalanan sudah sepi. Sebagian besar siswa sudah pulang. Saat aku masih melamun, tiba-tiba kudengar deru motor yang kencang dari belakangku. Dan kemudian.....
BRAAAAAAAAKK!!!
            Kurasakan tubuhku terbanting dengan keras ke aspal yang kasar. Seluruh tubuhku terasa sakit sekali. Namun kesadaranku belum hilang sepenuhnya. Kurasakan sakit yang sangat di kaki kananku. Aku pun masih sempat melihat sang pengendara motor berjongkok di sisi tubuhku dengan panik. Namun aku tak bisa melihat wajahnya karena tertutup helm. Kulihat samar-samar baju yang dipakainya. Seragam tim basket sekolahku! Setelah itu, aku tak kuat lagi menahan sakit di sekujur tubuhku. Pandanganku gelap tiba-tiba.
            Aku membuka mata. Kulihat sekelilingku. Aku berada di ruangan serba putih, bau obat dan alkohol menusuk hidungku. Aku mencoba bangun, namun rasanya badanku sakit semua. Apalagi kakiku, sakit sekali.
            “Naya.....lu udah sadar....” terdengar sebuah suara yang sepertinya sudah kukenal. Samar kulihat langkah-langkah pelan mendekati ranjangku.
            “Nay.....” panggil suara itu lagi. Seketika mataku terbuka lebar saat mengetahui pemilik suara itu.
            “Rain?! Ngapain lu di sini?! Di mana gue?!!” bentakku. Aku kaget melihatnya.
            “Nay.... ma...maafin...gue...” ucap Rain tersendat. Seperti ada isak di sela-sela suaranya. “Lu..... di.... di... rumah sakit.... Nay....”
            “Ada apa sebenarnya?! Kenapa gue di sini?!” aku mulai tak sabar.
            “Lu...tabrakan.... Ini semua....salah....gue..... Maaf...gue.... nggak... sengaja..... Gue...nggak ber...maksud...bikin lu....kayak gini....” kini Rain mulai menangis.
            “Apa maksud lu?!”
            “Gue...gue... yang...”
            “Tunggu!” potongku. Pelan-pelan, aku mulai mengingat kejadian yang menimpaku tadi. Aku ditabrak motor, tubuhku terbanting ke aspal, aku melihat pengendara motor itu.... dan dia memakai.... seragam tim basket SMA Nusantara! Dan baju yang dipakai Rain sekarang.......
            “Rain....jangan bilang kalau lu......” aku mulai terisak. Rain mengangguk lemah.
            “Iya... gue yang nabrak lu....maafin gue, Naya.... gue nggak sengaja......maafin gue....” Rain menangis di sisi ranjangku. Wajahnya diliputi penyesalan yang dalam. Aku menangis, namun tak sanggup berkata apa-apa lagi. Aku terpaku melihat sosok Rain yang sangat berbeda kali ini. Orang seangkuh Rain, seketus Rain, secuek Rain, kini bisa menangis tersedu-sedu dan yang lebih tak terduga, dia mengakui semua perbuatannya padaku.
            “Naya....gue bener-bener minta maaf... Gue udah hancurin hidup lu...ngerampas semua yang lu punya...hancurin mimpi-mimpi lu...dan sekarang gue tambah nyakitin lu....maafin gue....” Rain menyambung kata-katanya yang kali ini terdengar lebih lancar.
            “Apa maksud lu, Rain?” tanyaku tak mengerti. Rain menghela napas panjang.
            “Kaki lu....harus....diamputasi.....” jawaban Rain yang lirih itu bagai petir yang menyambar tubuhku.
            “APA? Kaki gue.......”
            “Iya... kaki kanan lu harus diamputasi. Maafin gue Naya.... gue udah ngerusak hidup lu....” ucap Rain lagi. Aku menangis lagi.
            “Rain....gue nggak nyangka lu bisa ngelakuin ini sama gue..... Tapi biar deh, mungkin udah jalan dari Allah kayak gini. Gue harap lu bener-bener bisa jadi kapten yang baik buat tim basket kita.” ucapku pelan. Kini aku sudah lebih tenang.
            “Maafin gue ya, Nay. Gue nggak nyangka, ternyata lu baiiik banget! Gue janji gue akan jadi kapten yang terbaik buat tim kita!” jawab Rain bersemangat.
            “Yaa... janji ya, Rain!” tukasku sambil tersenyum. Rain membalas senyumku, jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V.
            “Siap, Bos!” jawabnya jenaka. Kami pun tertawa. Baru kali ini kulihat Rain tertawa.
            Tak terasa, sudah tiga minggu aku di rumah sakit. Ardi juga sudah tahu tentang kecelakaan yang menimpaku. Tapi ia tidak mau memaafkan Rain, meski pun Rain sudah berkali-kali minta maaf padanya. Aku juga sudah berkali-kali membujuknya agar memaafkan Rain, tapi ia tetap tidak mau. Baginya, Rain adalah penghancur hidup dan mimpi-mimpiku.
            Selama aku di rumah sakit, Ardi yang selalu menjagaku. Dia tak mengijinkan Rain menjengukku atau sekedar mampir untuk mengantarkan buku pelajaran. Bahkan menghubungi nomorku pun dilarang. Setiap pulang sekolah Ardi selalu membawakan catatan pelajaran hari itu yang dipinjamnya dari temanku yang lain, dan menuliskannya di buku catatanku. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa melihat Ardi yang sekeras itu.
            Hari ini, Ardi menjengukku lebih awal. Jam sepuluh pagi.
            “Hai Naya. Ini buku pelajaran hari ini, nanti kutulis aja di rumah ya. Hari ini cuma ada dua pelajaran, gurunya rapat. Makanya aku bisa ke sini jam segini.” Ardi berkata sambil menunjukkan buku catatan Sejarah dan Sosiologi padaku. Aku mengangguk.
            “Makasih ya, Di. Ardi, sampai kapan sih kamu mau marah sama Rain?” mendengar pertanyaanku, Ardi tertunduk diam.
            “Ardi, Rain udah berubah. Tiga minggu lalu, setelah nabrak aku, dia yang bawa aku ke sini. Di luar dugaanku, dia menangis, Di... Menangis di hadapanku dan minta maaf. Dia juga mengakui bahwa dia yang nabrak aku. Tadinya aku marah banget sama dia. Tapi setelah lihat dan dengar dia mengakui dan minta maaf, aku jadi kasihan dan memaafkan dia.” ceritaku panjang lebar. Ardi mengangkat wajahnya sedikit.
            “Tapi dia udah menghancurkan mimpi-mimpimu, Nay. Dia udah rebut jabatan kamu di tim basket, ngerebut posisi kamu di lomba cerdas cermat, dan sekarang bikin kamu kayak gini. Aku nggak terima kamu diperlakukan kayak gitu.”
            “Aku ngerti, tapi kalau pun aku marah, nggak ada gunanya juga. Kakiku nggak akan balik lagi. Ini semua udah ketentuan Allah. Apa kabar Rain, Ardi?”
            Ardi terdiam sejenak, lalu berucap pelan. “Aku jarang ketemu dia, tapi kata anak-anak, dia mau pindah sekolah ke Aussie.” aku kaget mendengarnya.
            “Ke Aussie? Kenapa?” tanyaku. Ardi mengangkat bahu.
            Akhirnya hari ini aku bisa pulang. Orangtuaku menjemputku di rumah sakit. Ardi juga ikut mengantarku.Saat itu hujan baru saja reda. Sampai di depan rumah, kutemukan sebuah amplop putih dan sebuah bungkusan. Surat itu dari Rain. Kubaca surat di dalam amplop itu bersama Ardi.
          Arnaya Arzaneva, maafin gue. Gue pindah sekolah ke Aussie tanpa pamit dulu sama lu. Gue tahu, Ardi sangat marah sama gue. Dia ngelarang gue jenguk lu, bahkan menghubungi lu pun sulit. Cuma surat ini yang bisa gue kasih buat lu. Gue minta maaf, bukan maksud gue nggak nepatin janji ke elu agar menjadi kapten terbaik buat tim kita, tapi gue rasa Ardilah yang lebih pantes jadi kapten tim. Di bungkusan itu ada seragam tim kita, itu gue kasih buat Ardi. Sampaikan ke dia ya.
                Naya, meskipun gue jauh dari lu sekarang, tapi lu selalu ada di hati gue. Gue emang bodoh, baru sadar sekarang, ternyata dibalik semua tingkah gue yang ngeselin, gue jatuh cinta sama lu. Gue sayang sama lu. Tapi gue yakin, Ardi lebih baik buat lu. Terus semangat ya! Raih semua mimpi lu! Gue selalu doain lu. Salam gue buat Ardi, moga dia bisa maafin gue.
Raindra Tata Adiswara
            Aku menangis membaca deretan tulisan Rain itu. Ardi juga berkaca-kaca, dia mengelus pundakku yang sekarang tersandar di sandaran kursi roda. Hujan pun menderas lagi, seiring air mata yang makin luruh membasahi pipiku. Kurasakan, hujan kali ini berbeda. Ada aroma cinta tercium di sana. Aroma cinta Rain. Hujan hari ini adalah hujan cinta pertama dan terakhir  di langit Yogya bagiku.
♪Bawalah pergi cintaku, ajak kemana pun kau mau
Jadikan temanmu, temanmu paling kau cinta
Di sini ku pun begitu, terus cintaimu di hidupku
Di dalam hatiku, sampai waktu yang pertemukan kita nanti...♪

Tidak ada komentar:

Posting Komentar