It's me....

It's me....
senyum melulu :)

Sabtu, 18 Februari 2012

Bunga Terakhir


Tentang Masa Lalu....
            Pagi berselimut mendung. Rintik gerimis masih setia membasahi bumi. Kubuka jendela, merasakan aroma hujan nan khas. Sejenak, aku terdiam. Memoriku melayang pada tiga tahun lalu, saat pertamaku melihatmu. Ya, saat itu gerimis juga jadi saksi pertemuan pertama kita. Ah, apa kabar kamu di sana? Masihkah kau merindukanku, meski kini alam kita telah berbeda?

Tentang Kamu...
            Aku mulai mengenalmu saat kelas dua SMA, melalui Galuh, temanku yang juga mengenalmu. Namamu Afgan, ya hanya itu yang kutahu. Aku masih sebatas mengenal namamu, dan belum pernah bertatap muka denganmu. Kamu adalah salah satu penghuni kelas XI IPS 2, yang juga ditempati Galuh.
            Hingga akhirnya, di acara pentas seni sekolah, aku terkesima melihat sesosok tubuh duduk manis di depan sebuah grand piano. Jemarinya lincah menari di atas tuts, melantunkan instrumental lagu Westlife, My Love. Aku terpesona, kau sangat piawai memainkan lagu favoritku itu.
            “Itu yang namanya Afgan, Ra...” bisikan Galuh mengejutkanku. Oh, itukah kamu, Gan? Aku speechless, mataku tak lepas menatapmu. Matamu yang dibingkai kacamata minus itu bagai tersenyum seperti bibirmu yang tertarik dua senti ke kiri dan kanan. Sesaat kemudian, kudengar suara merdumu mengucap terima kasih, diiringi applause meriah dari semua orang yang hadir di aula saat itu. Sungguh, Afgan...kamu membuat hatiku deg-deg plas tanpa henti mulai saat itu...

Tentang Kita dan Cinta....
            Entah sejak kapan tepatnya, aku mulai dekat denganmu. Mungkin sejak pentas seni itu. Sejak itu, akt sering menyambangi ruang musik, hanya sekedar untuk melihat permainan pianomu yang mengesankan itu. Hingga suatu hari, saat ruang musik lengang, kau mainkan lagu My Love itu, diiringi suara merdumu yang bersenandung. Usai senandung itu, kau genggam tanganku, tatapan kita saling bertaut. Hatiku berdebar tak karuan, ingin rasanya menunduk, tapi kau mencegahku.
            “Ra, aku mau ngomong sama kamu....” ucapmu lirih, nyaris berbisik. Aku hanya mengangguk, rasanya bibirku kelu menjawabnya.
            “Aku...aku suka sama kamu, Ra...” bisikanmu serasa meledakkan jantungku, memaksa mataku bertelaga.
            “Kamu serius, Gan?” tanyaku dalam volume lirih juga. Kamu menganggukkan kepala, senyum manis tersungging di bibir mungilmu.
            “Aku harap kamu mau menjalani cinta ini sama aku, Ra. Jangan nangis, Ra...” ucapmu sambil menghapus airmataku lembut. “Kamu mau?” tanyamu memastikan. Rasanya tak butuh waktu lama bagiku untuk memikirkan jawaban itu, karena sebelum kamu mengungkapkan perasaan itu pun, hatiku telah lama mengiyakannya...
            Tak terasa, sudah setahun kita jalani cinta ini. Aku pun banyak tahu tentangmu, termasuk mimpimu untuk menjadi penyanyi. Aku pun setuju dan mendukung mimpimu itu, dengan setia kutemani kamu di ruang musik setiap pulang sekolah, untuk mendengarkan alunan piano dan suara merdumu itu.
            Hingga suatu hari, kau berlari tergopoh-gopoh menuju kelasku. Wajahmu sumringah, dihiasi senyum lebar.
            “Dara! Aku punya kabar gembira buat kamu!” serumu saat sampai di hadapanku. Aku memandangi wajahmu heran.
            “Kabar apa, Gan?” tanyaku penasaran. Buru-buru kau keluarkan selembar kertas dari sakumu, saat kulihat ternyata itu sebuah formulir. “Apa ini, Gan? Formulir kontes nyanyi?” tanyaku tak mengerti. Kamu mengangguk dengan wajah cerah.
            “Iya! Aku mau ikut audisi minggu depan! Kamu mau kan nonton aku audisi?” tanyamu penuh harap. Aku tersenyum.
            “Pasti, aku pasti temenin kamu!” jawabku, membuatmu kegirangan dan tak berhenti menyunggingkan senyum. Aku tertawa melihat tingkah kocakmu.

Bunga Terakhir...
            Tak terasa, sudah tiga hari menjelang audisi. Kamu sangat giat berlatih permainan piano dan vokalmu agar sukses di audisi nanti. Seperti siang-siang sebelumnya, siang ini kita menghabiskan waktu di ruang musik.
            “Dara, selain My Love, lagu favorit kamu apa?” tanyamu di sela-sela waktu istirahat. Aku berpikir sejenak.
            “Hmm... Bunga Terakhir! Memangnya kenapa?”
            “Yang lagunya Bebi Romeo itu? Oke, kalau gitu aku bakalan nyanyi lagu itu di audisi nanti!” jawabmu bersemangat.
            “Lho, kenapa? Bukannya kamu mau nyanyi My Love?” tanyaku kebingungan. Kau tersenyum, mengelus rambutku.
            “Aku pengin nyanyi lagu kesukaan kamu aja, Sayang...” ucapmu pelan. Aku terkesima mendengar jawabanmu, agak lama aku terdiam dalam rasa bahagia yang meluap-luap, sebelum akhirnya kuucap terima kasih, yang kau balas dengan senyum manismu.
            Hari audisi pun tiba. Kamu tampak sangat mempesona dengan kemeja putih dan jas hitam. Aku tak henti mengobarkan semangatmu, sembari menunggu giliran namamu dipanggil untuk bernyanyi di depan juri. Hingga akhirnya, suara MC bergema menyebut namamu. Dengan langkah pasti, kamu memasuki ruang audisi. Aku memperhatikanmu dari kursi penonton dengan harap-harap cemas, semoga kamu bisa menampilkan yang terbaik.
            Setelah mengenalkan diri pada para juri, kamu melangkah ke arah grand piano yang berdiri kokoh di tengah panggung. Usai menarik napas panjang sejenak, jarimu mulai menari di atas tuts, memainkan intro lagu favoritku, Bunga Terakhir. Lalu merdu suaramu mulai tertangkap telingaku.
Kaulah yang pertama menjadi cinta
Tinggallah kenangan...
Berakhir lewat bunga
Seluruh cintaku untuknya
            Bunga terakhir, kupersembahkan kepada yang terindah
            Sebagai satu tanda cinta untuknya
Betapa cinta ini sungguh berarti
Tetaplah terjaga...
Selamat tinggal kasih ku telah pergi selamanya....
            Bunga terakhir, kupersembahkan kepada yang terindah
            Bunga terakhir, menjadi satu kenangan yang tersimpan
            Takkan pernah hilang tuk selamanya.....♪
            Kau akhiri senandungmu diiringi tepuk tangan meriah dari juri dan para penonton. Tepuk tangan paling keras tentu saja dariku, aku merasa perjuanganmu selama ini tidak sia-sia. Airmata haru dan bahagia membasahi wajahku. Lebih gembiranya lagi, saat kutahu juri tak memberi kritikan apapun untukmu, bahkan mereka bertanya kamu sudah berapa kali manggung seperti ini. Kamu hanya tertawa dan berkata bahwa baru pertama kali bernyanyi di panggung seperti ini. Juri bilang, hasil audisi akan diumumkan minggu depan.
            Kamu tak langsung mengajakku pulang, saat selesai audisi. Kau lajukan motor matic-mu menuju salah satu kafe yang tak jauh dari hotel lokasi audisi tadi.
            “Aku mau traktir kamu, Ra. Sebagai ungkapan syukur, karena tadi penampilanku sukses! Gimana menurut kamu, Ra?”
            “Kamu hebat, Gan! Aku salut sama ketekunan kamu berlatih di ruang musik. Aku yakin, kamu pasti lolos audisi!” seruku bersemangat. Kamu tersenyum, mengamini kata-kataku. Segera kita larut menikmati hidangan yang tersaji, ada spagetti dan kentang balado, makanan favoritmu, ada nasi goreng dengan kerupuk udang sebagai menu kesayanganku.
            “Oh ya, Ra...” di sela-sela makan, tiba-tiba kau merogoh saku kemejamu. Tak kusangka, kamu mengeluarkan setangkai mawar pink. “Ini buat kamu...” ujarmu.
            “Buat aku? Dalam rangka apa, kamu ngasih aku bunga segala? Selama kita pacaran, baru kali ini kamu ngasih bunga...” ucapku heran.
            “Nggak pa-pa... Pengen aja. Kan pas, tadi aku baru nyanyi Bunga Terakhir, terus aku kasih bunga ini buat kamu... Ini juga sebagai ungkapan sayang aku.” jawabmu sambil menyodorkan bunga itu padaku. Kuterima dengan senang hati, meski hatiku bingung menerka apa maksud ucapanmu tadi. Lagu Bunga Terakhir, dengan bunga pemberianmu...apa artinya ini....?
            Setelah dari kafe, kita memutuskan langsung menuju rumahku. Jalanan sudah basah oleh gerimis yang mulai menderas. Kau lajukan motormu dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota yang masih padat.
            Tiba-tiba, bis di depan kita mengerem mendadak. Kamu kaget, dan karena tak siap, motormu tergelincir di aspal yang licin. Lalu motormu terguling ke kanan. Aku jatuh dan terbentur aspal, telingaku masih sempat mendengar teriakanmu. Namun kemudian pandanganku berkunang-kunang dan tak sanggup melihat keadaanmu.
            Saat kesadaranku pulih, aku sudah berada di ruangan serba putih. Samar-samar kulihat langkah-langkah perawat tergesa mendekati ranjangku.
            “Sus...ter...pacar...saya...gimana...? tanyaku tersendat-sendat. Perawat itu menatapku dengan iba, dia tak kunjung memberikan jawaban.
            “Sus...di...mana...Afgan...?” tanyaku lagi. Perawat itu menghela napas panjang, sebelum akhirnya berucap pelan.
            “Mbak yang sabar ya, pacar Mbak sudah tenang sekarang...”

Tentang Kenangan....
            Aku tersadar dari lamunan panjangku saat ponselku meneriakkan tanda pesan masuk. Kuhapus airmata yang berlelehan di pipiku. Kutatap wajah manismu di foto yang selalu kupajang di meja belajarku, meski sudah tiga tahun berlalu sejak kau pergi. Aku tersenyum dalam airmata yang masih tersisa.
            “Afgan, aku yakin saat ini kamu sedang bersenandung dengan bahagia di alam sana... Aku akan selalu sayang sama kamu, Gan....” ucapku lirih sambil mendekap fotomu itu. Ya, selamanya kamu akan ada di hatiku, denting piano dan alunan suaramu selalu terngiang di telingaku, Afgan....

THE END

Merindu

Bolehkah aku mengadu pada langit biru?
Saat tak lagi kurasai cinta yang legit seperti dulu
Kini kelabu...
Seolah berwajah sendu...
                Maafkan aku, jika masih saja seperti dulu
                Masih berkutat pada rasa itu...
                Namun, aku hanya ingin merasai nikmatmu...
                Merindu...
Ya, kau pun tahu siapa yang kurindu
Masih di situ, dan selalu di situ...
Meski paksaan bertubi menghunjamku
Tuk lupakan segala kenangan itu,
Aku tak tahu...
Hingga detik ini aku masih, merindu...
                Rindu itu memang sempat pudar, lalu
                Ia kembali tanpa seijinku
                Lelah meraja, tak ingin lagi aku merindu
                Namun aku juga masih ingin merindu...
Sejenak, aku merasa dibutakan rindu
Sadari, dia tak lagi seperti dulu
Dia menjelma menjadi sosok baru
Yang bahkan sulit terpahami olehku...
                Kupandangi tiap deret kalimat itu
                Membuatku makin buta rindu
                Tapi sekali lagi napasku mengingatkan terburu
                Bahwa dia memang tak seperti dulu
                Mataku berkabut haru
Kini memang bukan dirimu
Yang bisa kutunggu di sisa waktuku
Ya, baiklah, aku akan lupakanmu
Tapi mohon ijinkanku
Tetap menyimpanmu dalam kalbu
                Dan selama langit masih menaungiku
                Tak peduli biru atau kelabu,
Biarkan aku tetap merindumu
Hanya merindumu....
AdindaDhara
19 Februari 2012