It's me....

It's me....
senyum melulu :)

Kamis, 17 November 2011

Ketika Sebuah Kekurangan Membawa Banyak "Kejutan"

Suatu hari, pernah ada temanku yang bertanya. “Din, kamu nyesel nggak sih diciptakan dengan kondisi fisik seperti ini?”
          Aku termenung sesaat. Menyesal? Jujur, tak pernah terpikir kata itu di pikiranku sebelumnya. Aku memang punya kondisi fisik yang “berbeda”. Sembilan belas tahun lalu, aku lahir dalam usia kandungan enam bulan. Ya, aku prematur. Dan itu membuat fisik kananku melemah. Tangan kanan tak bisa berfungsi optimal, sehingga menulis pun aku harus kidal. Kaki kananku pun jadi jinjit. Aku pun tak bisa bersepeda atau naik motor seperti orang-orang kebanyakan. Eh...bukan tak bisa sih, tapi belum bisa.
          Sungguh, tak pernah aku merasa menyesal dengan kondisiku yang seperti ini. Kalau rasa iri sih, kadang ada. Jika melihat teman-temanku bisa ke mana-mana sendiri dengan naik motor, atau sepeda, aku juga ingin seperti mereka. Tapi, kuingin memperbaiki cara berjalanku yang masih buruk ini terlebih dulu sebelum aku belajar naik motor.
          Tapi sungguh, ternyata Allah memang Maha Segalanya. Di balik semua keterbatasanku, Dia memberiku “keyakinan” untuk sanggup melakukan sesuatu yang sebelumnya kukira mustahil untuk dapat kulakukan sendiri. Aku sendiri kadang tidak menyangka, aku bisa melakukannya. Ya, walaupun mungkin bagi orang-orang yang normal, “pencapaian” ini terbilang sangat biasa, tapi bagiku ini luarbiasa.
          Pertama, tiba-tiba aku bisa memakai sandal jepit berbahan karet dan tidak lepas-lepas. Padahal sebelumnya, aku selalu pakai sepatu bertali ke mana pun aku pergi, dan kalau aku pakai sandal jepit, seringkali salah satu sandal tertinggal di belakang, sementara aku sendiri sudah berjalan jauh di depan, hehehe. Maka kini, jika bepergian dalam jarak dekat, aku lebih suka memakai sandal karetku itu dari pada sepatu. Tapi untuk pergi jarak jauh sih aku masih memakai sepatu bertali.
          Kemudian, saat aku stay di Malang pada tanggal 8-11 September kemarin. Saat itu aku harus mengikuti sebuah acara yang diadakan kampusku yang dikenal dengan sistem belajar jarak jauhnya itu. Dan karena kedua orangtuaku harus bekerja dan mengantar adikku sekolah. Tanggal 8, aku diantar ayah ke rumah Tante dan menginap di sana. Di sanalah aku memulai adaptasiku yang pertama. Biasanya, jika di rumah, aku terbiasa mandi sambil duduk. Ada sebuah kursi kecil di kamar mandi yang disediakan untukku. Sementara di rumah Tante, tak ada kursi sama sekali. Jadi mau tak mau, bisa tak bisa, aku harus mandi sambil berdiri. Itu kesulitan tersendiri buatku, karena selama ini kalau berdiri terlalu lama, aku akan kelelahan. Tapi, alhamdulillah...aku bisaaa! Rasanya sangat luarbiasa dan tak kusangka. Selama tiga hari menginap di rumah Tante, aku bisa mandi sambil berdiri! Hehehe...
          Selanjutnya, masih di Malang juga. Saat acara kampus berlangsung pada 10 September, lokasi acaranya di aula kampus di lantai dua. Karena aku tidak mengenal semua orang yang ada di situ, (karena sistem kuliah jarak jauh dan baru bertemu pertama kali), aku jadi sungkan minta bantuan mereka untuk naik tangga. Ada sih, beberapa orang yang berniat membantuku, tapi kutolak. Bukannya tak mau menerima niat baik orang lain, tapi karena aku merasa bisa melakukannya sendiri. Jadi, kupersilakan mereka naik lebih dulu, dan aku belakangan. Undakan tangganya yang sangat licin dan pegangannya yang ada di sebelah kanan, membuatku cukup kesulitan menaikinya. Karena tangan kananku tak sekuat tangan kiri, jadi aku takut terjatuh saat menggenggam pegangan tangga dengan tangan kanan. Jadi, “kusuruh” tangan kiri ikut “membantu” tangan kanan menggenggam pegangan tangga. Dan aku menaiki tangga dengan posisi menyamping, bukan lurus seperti pada umumnya (Bisa bayangkan, nggak? Hehe). Akhirnya, setelah sekitar 15 menit aku meniti undakan tangga, sampailah aku di atas! Lega sekali rasanya. Meskipun ngos-ngosan, tapi aku puas sekali bisa menaiki tangga itu sendiri. Dan ternyata aku BISA!
          Masih berlanjut lagi ceritanya. Masih di Malang, sepulang dari acara kampus, aku dijemput kakak sepupuku naik motor. Untunglah, selama ini, aku yang agak kesulitan naik ke boncengan motor, saat itu bisa naik dengan lancar, tanpa terlalu banyak merepotkannya. Lalu dia mengajakku ke rumahnya. Selepas Isya’, aku meminta kakakku mengantarkanku keliling-keliling Malang naik motor, sekalian mengantarku kembali ke rumah Tante. Dia mau mengantarku. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa menatap kagum ramainya Malang, deretan mall, universitas, rumah-rumah, apartemen, dan restoran, karena aku sudah lama sekali tidak keliling Malang naik motor. Indah sekali dunia ini, ternyata... Di tengah perjalanan, kakakku bilang motornya hampir kehabisan bensin. Lalu aku menyarankan untuk menuju SPBU dulu. Tapi dia bertanya dengan agak khawatir padaku.
          “Kamu bisa nggak turun dari motor? Nanti susah turunnya, lagi! Kalau kamu merasa sulit, nggak usah beli bensin, kita langsung balik ke rumah Tante aja!” lalu kujawab.
          “Jangan, Mas! Jangan balik dulu ke rumah Tante! Aku masih mau jalan-jalan! Aku bisa kok turun sendiri! Ayo Mas, ke Pom sekarang!” seruku. Dia masih agak ragu dan aku memaksanya. Akhirnya, dia membelokkan motor ke arah SPBU. Dan kemudian ia menghentikan motor sejenak dan menyuruhku turun. Meskipun agak makan waktu lama, tapi akhirnya aku bisa. Dia pun menyuruhku menunggu sebentar, sementara ia mengisi bensin. Karena tak ada kursi di sana, mau tak mau aku harus berdiri tanpa berpegangan, karena memang tak ada benda yang bisa dijadikan pegangan di sana. Aku pun berusaha berdiri sekuat tenagaku, dan berusaha agar tak sampai jatuh, meski agak goyang karena memang kurang stabil. Alhamdulillah, hingga kakak selesai mengisi bensin, aku masih berdiri di situ. Sekali lagi kubilang, aku BISA! :D
          Kembali lagi ke rumah. “Pencapaian” yang kuraih selanjutnya adalah, aku bisa mengupas mangga sendiri! Hahahaaa...mungkin bagi sebagian orang hal ini terdengar sangat lucu. Ya, lucu sekali memang, karena sampai usia sebesar ini aku belum bisa mengupas mangga. Selama ini, jika ingin makan mangga, aku selalu menunggu “sukarelawan” untuk mengupaskan mangga buatku. Tapi, beberapa hari lalu, ibuku bilang, “Aku kasihan sama kamu, Din. Masa kalau pengin makan mangga harus nunggu orang yang ngupasin? Belajar deh, ngupas mangga sendiri! Masa kamu kalah sama ibu-ibu fotografer yang nggak punya tangan itu?”
          Beberapa saat lalu, aku memang melihat tayangan tentang ibu yang tidak punya jari tangan. Tangannya hanya sebatas siku saja, dan tidak ada jari-jarinya. Tapi dia bisa memegang kamera dan menghasikan foto yang bagus. Saat diundang ke sebuah acara talkshow, pembawa acara meletakkan sebuah koin di lantai dan meminta ibu itu mengambilnya. Karena keterbatasannya, ibu itu sempat kesulitan mengambil koin di lantai yang licin. Dan akhirnya, dia mengambil selembar tisu untuk alat bantunya mengambil koin itu. Dan akhirnya dia bisa! Aku kagum dengan kegigihan beliau.
          Aku pun belajar mengupas mangga. Tangan kananku lama-lama pegal karena memegang mangga, sedangkan tangan kiriku mengupasnya. Ya, pakai tangan kiri lagi... Dan akhirnya, meskipun agak belepotan, aku bisa mengupas dan memotong-motong mangga itu menjadi beberapa bagian yang lebih kecil. Dan usai itu, aku memakannya. Rasanya tetap manis khas mangga sih, tapi ada rasa lain yang seakan menempel di mangga itu. Rasa gembira dan puas karena aku bisa makan mangga hasil kupasanku sendiri... Hehehe...
(Tertulis setelah merenungi semua “pencapaian” yang berhasil kudapat selama ini. Aku sadar ini masih sangat kurang. Semoga dengan adanya pencapaian ini membuatku lebih semangat meraih pencapaian-pencapaian lainnya.... amiin).
Terima kasih untuk semua temanku, yang masih selalu ada, menerimaku dengan baik di tengah keterbatasanku... J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar