It's me....

It's me....
senyum melulu :)

Rabu, 30 November 2011

Harianku


Malem ini gue merasa ada yang aneh dengan hati gue lagi. Gak tahu, kenapa hati ini perih lagi. Gue merasa kehilangan semuanya. Sahabat, temen, motivator... siapa pun yang dulu gue yakini sebagai orang-orang yang “abadi di samping gue”. Gue sendiri nggak ngerti, apa yang membuat mereka seakan menjauh dari gue. Gak care lagi ke gue, seperti yang selalu mereka bilang dulu. Kenapa sih, semua hanya bisa bicara bullshit, penuh kebohongan.... Kenapa hanya saat mereka butuh gue, mereka baru sadar kalo gue masih hidup...?!
          Gue sendiri nggak ngerti, apa yang mendasari gue nulis curhatan ini. Mungkin karena gue udah kehabisan orang buat gue ajak cerita. Gimana ada?! Gak peduli semuaaa... Jujur, gue kesal. Gue kesal malem ini. Hanya karena gak di-tag di catatan fesbuknya orang yang DULU sempat sangat berarti buat gue. Gue kesal karena itu? Yaa! Gue merasa udah gak ada lagi yang peduli sama gue...
          Entahlah...apa mungkin ini karena gue terlalu “gila” sama Afgan? Yaa, maybe...Tapi gue cuma bisa lari ke Afgan, setelah DIA yang di masa lalu itu ninggalin gue, dengan kalimat saktinya, “Cinta TAK HARUS MEMILIKI”. Buat gue itulah kalimat paling klise yang pernah gue baca dan dengar...! Gue Cuma bisa tersenyum, menghapus airmata gue, kembali semangat, mendapat inspirasi, mendapat dorongan untuk tetap survive, tegak berdiri, setelah ada Afgan yang menghibur gue lewat merdu suaranya. Berlebihan?? Yaa...mungkin... Tapi whatever... Tapi yang pasti, itu yang gue rasain...
          Sekarang kaki gue makin kaku tuk melangkah mencari di mana para sahabat yang dulu selalu bilang, “AKU AKAN SELALU ADA BUAT KAMU”. Ah, kalimat klise lagii!! Kenapa sih sebagian besar orang hanya bisa manfaatin gue, baru deketin gue kalo mereka butuh, baru minjem telinga gue saat mereka punya cerita sedih? Kenapa mereka semua harus begitu? Dan saat giliran gue merasakan gembira sementara karena hadirnya Afgan, mereka ramai-ramai mencemooh gue, menyindir gue, mengatai gue kayak anak kecil lah, mengabaikan Rasulullah dan Al-Quran lah... dan segudang kata-kata lainnya yang gak kalah pedesnya.. Kenapa mereka begitu?! Asal mereka tahu, gue kayak gini ke Afgan karena gue pengin nemuin kegembiraan yang dipaksa hilang dari hidup gue setelah mereka menjauhi gue... Bagi mereka mungkin gue gak ada apa-apanya, gak berguna, Cuma bisa jadi benalu doang, dan bagi mereka, suka sama Afgan adalah kesalahan TERBESAR yang pernah gue buat seumur hidup!!!
          Padahal, dengan hadirnya Afgan, bisa melipur lara, sedih, kesal, marah, kecewa gue. Dan itu juga karena tingkah mereka yang bisanya Cuma ngomong basa-basi doang, bohong doang! Gue capek dengan semua itu....
          Kenapa juga gue selalu menuliskan dalam cerpen dan novel gue, sosok tokoh yang begitu BERUNTUNG, karena dia punya sahabat yang setia sepanjang hidup, dan seseorang yang mencintainya dengan tulus? Karena sebenarnya itulah harapan gue buat diri gue sendiri. Dan setiap nulis cerita-cerita itu, gue jadi merasa sedih sendiri, karena cerita itu hanya sebatas khayal aja, gak jadi kenyataan buat gue....
          Gue capeekk... Semoga belum capek buat menjalani hidup ini, karena masih banyak mimpi gue yang belum jadi nyata...
          Di mana sih lu semua, cinta gue, sahabat gue... Kenapa kalian hanya hadir dalam maya, tanpa beri kesempatan gue untuk menyapa? Adakah sedikit waktu untuk kalian raba luka hati gue, berkeberatankah kalian mendengar semua curahan hati gue? Gue pikir, gue harus bermimpi dulu kalau ingin semua itu terjadi. Rasanya ingin gue terlelap dalam mimpi panjang, agar gue bisa rasakan itu semua bersama kalian, sahabat....
1 Desember 2011
Curhat banget, by Dhara

Kamis, 17 November 2011

Sajak Afgan 1


Afgansyah Reza 1
Besok ia akan pergi...
Tinggalkan Indonesia
Tuk ke Jiran sana...
Meski sementara,
Namun timbulkan perih tak terperi....
                Mungkin baginya memang sebentar...
                Tapi, empat tahun?
                Bisakah kau bayangkan, betapa lamanya itu?
Sebenarnya aku tak tahu pasti
Berapa lama ia di sana
Meski ia janji tuk selalu kembali ke Jakarta
Tuk hibur kita lagi
Tapi.....
Aku masih tak sanggup lihat dia berlalu....
Sabtu, 26 Februari 2011

Afgansyah Reza 2
Hari ini, dia benar-benar pergi
Sementara aku masih di sini
Tak sendiri, pun sepi
Suaranya masih bisa kudengar dari ponselku
Gambarnya masih terpasang di dinding kamarku
Tapi, masih ada yang berbeda di sini
Di hati...
                Meski aku dan dia terbiasa jauh
                Ya, jauh, Blitar-Jakarta...
                Tapi lihat ia jauh di Jiran sana,
                Buatku jenuh...
Aku masih terdiam sunyi
Hampa...
Mungkin banyak orang anggap aku aneh
Merindunya yang tak mungkin di sini
                Tapi sungguh, aku rindu dia...
                Aku makin merasa perih
                Saat pelipur rinduku belum juga tiba
                DVD filmnya....
                Kapan aku bisa dapatkan itu?
Tapi
Bagaimana pun rasaku
Betapa pun dalam rinduku
Ia harus tetap pergi
Tuk tuntut ilmu lebih tinggi
                Semoga ia segera kembali lagi ke Jakarta
                Nyanyi lagi di TV
                Hilangkan rinduku yang belum jua menepi
                Dan hibur inderaku yang makin hampa
Minggu,27 Februari 2011


Afgansyah Reza 3
Akhirnya kamu pergi...
Hari ini
Malam ini...
                Tahukah kamu, Gan?
                Kepergianmu tinggalkan sakit tak terperi
                Dalam kalbuku...
Mengertikah kamu, Gan?
Aku kehilanganmu.....
                Meski aku tahu,
                Bukan cuma kamu yang masih ada untukku
                Tapi kamu salah satu penyemangat terbesarku, Gan...
Dan pergimu malam ini
Memotong semangatku
Tak lagi jadi utuh
                Namun, aku sadar Gan...
                Cintamu masih begitu hidup untukku
                Lewat lagu-lagumu,
                Suara khasmu,
                Kacamatamu....
Jadi, kulepaskan sedihku
Relakan kamu berlalu
Ku yakin ini sementara
Bukan selamanya...
                Suatu saat nanti kamu kan kembali
                Untukku
                Untuk kita....
                Afganisme......
27 Februari 2011
Jam 18.30
Saat pesawat Afgan menuju Malaysia....

Ketika Sebuah Kekurangan Membawa Banyak "Kejutan"

Suatu hari, pernah ada temanku yang bertanya. “Din, kamu nyesel nggak sih diciptakan dengan kondisi fisik seperti ini?”
          Aku termenung sesaat. Menyesal? Jujur, tak pernah terpikir kata itu di pikiranku sebelumnya. Aku memang punya kondisi fisik yang “berbeda”. Sembilan belas tahun lalu, aku lahir dalam usia kandungan enam bulan. Ya, aku prematur. Dan itu membuat fisik kananku melemah. Tangan kanan tak bisa berfungsi optimal, sehingga menulis pun aku harus kidal. Kaki kananku pun jadi jinjit. Aku pun tak bisa bersepeda atau naik motor seperti orang-orang kebanyakan. Eh...bukan tak bisa sih, tapi belum bisa.
          Sungguh, tak pernah aku merasa menyesal dengan kondisiku yang seperti ini. Kalau rasa iri sih, kadang ada. Jika melihat teman-temanku bisa ke mana-mana sendiri dengan naik motor, atau sepeda, aku juga ingin seperti mereka. Tapi, kuingin memperbaiki cara berjalanku yang masih buruk ini terlebih dulu sebelum aku belajar naik motor.
          Tapi sungguh, ternyata Allah memang Maha Segalanya. Di balik semua keterbatasanku, Dia memberiku “keyakinan” untuk sanggup melakukan sesuatu yang sebelumnya kukira mustahil untuk dapat kulakukan sendiri. Aku sendiri kadang tidak menyangka, aku bisa melakukannya. Ya, walaupun mungkin bagi orang-orang yang normal, “pencapaian” ini terbilang sangat biasa, tapi bagiku ini luarbiasa.
          Pertama, tiba-tiba aku bisa memakai sandal jepit berbahan karet dan tidak lepas-lepas. Padahal sebelumnya, aku selalu pakai sepatu bertali ke mana pun aku pergi, dan kalau aku pakai sandal jepit, seringkali salah satu sandal tertinggal di belakang, sementara aku sendiri sudah berjalan jauh di depan, hehehe. Maka kini, jika bepergian dalam jarak dekat, aku lebih suka memakai sandal karetku itu dari pada sepatu. Tapi untuk pergi jarak jauh sih aku masih memakai sepatu bertali.
          Kemudian, saat aku stay di Malang pada tanggal 8-11 September kemarin. Saat itu aku harus mengikuti sebuah acara yang diadakan kampusku yang dikenal dengan sistem belajar jarak jauhnya itu. Dan karena kedua orangtuaku harus bekerja dan mengantar adikku sekolah. Tanggal 8, aku diantar ayah ke rumah Tante dan menginap di sana. Di sanalah aku memulai adaptasiku yang pertama. Biasanya, jika di rumah, aku terbiasa mandi sambil duduk. Ada sebuah kursi kecil di kamar mandi yang disediakan untukku. Sementara di rumah Tante, tak ada kursi sama sekali. Jadi mau tak mau, bisa tak bisa, aku harus mandi sambil berdiri. Itu kesulitan tersendiri buatku, karena selama ini kalau berdiri terlalu lama, aku akan kelelahan. Tapi, alhamdulillah...aku bisaaa! Rasanya sangat luarbiasa dan tak kusangka. Selama tiga hari menginap di rumah Tante, aku bisa mandi sambil berdiri! Hehehe...
          Selanjutnya, masih di Malang juga. Saat acara kampus berlangsung pada 10 September, lokasi acaranya di aula kampus di lantai dua. Karena aku tidak mengenal semua orang yang ada di situ, (karena sistem kuliah jarak jauh dan baru bertemu pertama kali), aku jadi sungkan minta bantuan mereka untuk naik tangga. Ada sih, beberapa orang yang berniat membantuku, tapi kutolak. Bukannya tak mau menerima niat baik orang lain, tapi karena aku merasa bisa melakukannya sendiri. Jadi, kupersilakan mereka naik lebih dulu, dan aku belakangan. Undakan tangganya yang sangat licin dan pegangannya yang ada di sebelah kanan, membuatku cukup kesulitan menaikinya. Karena tangan kananku tak sekuat tangan kiri, jadi aku takut terjatuh saat menggenggam pegangan tangga dengan tangan kanan. Jadi, “kusuruh” tangan kiri ikut “membantu” tangan kanan menggenggam pegangan tangga. Dan aku menaiki tangga dengan posisi menyamping, bukan lurus seperti pada umumnya (Bisa bayangkan, nggak? Hehe). Akhirnya, setelah sekitar 15 menit aku meniti undakan tangga, sampailah aku di atas! Lega sekali rasanya. Meskipun ngos-ngosan, tapi aku puas sekali bisa menaiki tangga itu sendiri. Dan ternyata aku BISA!
          Masih berlanjut lagi ceritanya. Masih di Malang, sepulang dari acara kampus, aku dijemput kakak sepupuku naik motor. Untunglah, selama ini, aku yang agak kesulitan naik ke boncengan motor, saat itu bisa naik dengan lancar, tanpa terlalu banyak merepotkannya. Lalu dia mengajakku ke rumahnya. Selepas Isya’, aku meminta kakakku mengantarkanku keliling-keliling Malang naik motor, sekalian mengantarku kembali ke rumah Tante. Dia mau mengantarku. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa menatap kagum ramainya Malang, deretan mall, universitas, rumah-rumah, apartemen, dan restoran, karena aku sudah lama sekali tidak keliling Malang naik motor. Indah sekali dunia ini, ternyata... Di tengah perjalanan, kakakku bilang motornya hampir kehabisan bensin. Lalu aku menyarankan untuk menuju SPBU dulu. Tapi dia bertanya dengan agak khawatir padaku.
          “Kamu bisa nggak turun dari motor? Nanti susah turunnya, lagi! Kalau kamu merasa sulit, nggak usah beli bensin, kita langsung balik ke rumah Tante aja!” lalu kujawab.
          “Jangan, Mas! Jangan balik dulu ke rumah Tante! Aku masih mau jalan-jalan! Aku bisa kok turun sendiri! Ayo Mas, ke Pom sekarang!” seruku. Dia masih agak ragu dan aku memaksanya. Akhirnya, dia membelokkan motor ke arah SPBU. Dan kemudian ia menghentikan motor sejenak dan menyuruhku turun. Meskipun agak makan waktu lama, tapi akhirnya aku bisa. Dia pun menyuruhku menunggu sebentar, sementara ia mengisi bensin. Karena tak ada kursi di sana, mau tak mau aku harus berdiri tanpa berpegangan, karena memang tak ada benda yang bisa dijadikan pegangan di sana. Aku pun berusaha berdiri sekuat tenagaku, dan berusaha agar tak sampai jatuh, meski agak goyang karena memang kurang stabil. Alhamdulillah, hingga kakak selesai mengisi bensin, aku masih berdiri di situ. Sekali lagi kubilang, aku BISA! :D
          Kembali lagi ke rumah. “Pencapaian” yang kuraih selanjutnya adalah, aku bisa mengupas mangga sendiri! Hahahaaa...mungkin bagi sebagian orang hal ini terdengar sangat lucu. Ya, lucu sekali memang, karena sampai usia sebesar ini aku belum bisa mengupas mangga. Selama ini, jika ingin makan mangga, aku selalu menunggu “sukarelawan” untuk mengupaskan mangga buatku. Tapi, beberapa hari lalu, ibuku bilang, “Aku kasihan sama kamu, Din. Masa kalau pengin makan mangga harus nunggu orang yang ngupasin? Belajar deh, ngupas mangga sendiri! Masa kamu kalah sama ibu-ibu fotografer yang nggak punya tangan itu?”
          Beberapa saat lalu, aku memang melihat tayangan tentang ibu yang tidak punya jari tangan. Tangannya hanya sebatas siku saja, dan tidak ada jari-jarinya. Tapi dia bisa memegang kamera dan menghasikan foto yang bagus. Saat diundang ke sebuah acara talkshow, pembawa acara meletakkan sebuah koin di lantai dan meminta ibu itu mengambilnya. Karena keterbatasannya, ibu itu sempat kesulitan mengambil koin di lantai yang licin. Dan akhirnya, dia mengambil selembar tisu untuk alat bantunya mengambil koin itu. Dan akhirnya dia bisa! Aku kagum dengan kegigihan beliau.
          Aku pun belajar mengupas mangga. Tangan kananku lama-lama pegal karena memegang mangga, sedangkan tangan kiriku mengupasnya. Ya, pakai tangan kiri lagi... Dan akhirnya, meskipun agak belepotan, aku bisa mengupas dan memotong-motong mangga itu menjadi beberapa bagian yang lebih kecil. Dan usai itu, aku memakannya. Rasanya tetap manis khas mangga sih, tapi ada rasa lain yang seakan menempel di mangga itu. Rasa gembira dan puas karena aku bisa makan mangga hasil kupasanku sendiri... Hehehe...
(Tertulis setelah merenungi semua “pencapaian” yang berhasil kudapat selama ini. Aku sadar ini masih sangat kurang. Semoga dengan adanya pencapaian ini membuatku lebih semangat meraih pencapaian-pencapaian lainnya.... amiin).
Terima kasih untuk semua temanku, yang masih selalu ada, menerimaku dengan baik di tengah keterbatasanku... J

Arti Semangat Sebenarnya (Inspired By Gita Sesa Wanda Cantika)

Jumat lalu, aku membaca sebuah novel bertitel Surat Kecil untuk Tuhan, karangan Agnes Davonar. Dari judulnya saja sudah bikin penasaran. Apalagi tertulis di cover-nya yang berwarna dasar biru itu, Perjuangan Gita Sesa Wanda Cantika Melawan Kanker. Terbersit satu tanya di hatiku, siapa Gita Sesa Wanda Cantika itu? Kenapa baru sekarang aku mendengar nama itu? Apa mungkin karena dia kurang terkenal atau aku yang memang kuper, hehehe....
          Kubuka lembar pertama. Dua foto tertoreh di sana. Wajah Gita yang manis dihiasi kacamata. Inikah penderita kanker itu, pikirku. Gita Sesa Wanda Cantika yang biasa disapa Keke ini adalah mantan penyanyi cilik, sosok gadis pintar yang berhati teguh dan punya semangat sangaaaaat tinggi. Aku bisa menyimpulkan seperti ini setelah membaca lembar demi lembar novel yang berisi kisah hidup dan perjuangan Keke melawan kanker. Kanker Jaringan, atau nama ilmiahnya rabdomisarkoma ini, mulai menyerangnya sejak ia duduk di bangku SMP, di sebuah SMP di Jakarta Barat. Membaca kisahnya, sungguh membuatku berlinang air mata. Air mata sedih, kasihan, kagum, dan sejuta perasaan-perasaan lain yang berbaur jadi satu dan tak bisa dilukiskan lagi. Apalagi, aku membaca novel ini diiringi alunan Bawalah Cintaku-nya Afgan. Jadi makin sedih bawaannya.
          Sejak kecil, Keke sudah menghadapi hidup yang berat. Perceraian kedua orangtuanya membuatnya harus tinggal dengan ayahnya dan kedua kakaknya. Walaupun hanya tinggal dengan ayah dan kakaknya, Keke tetap mendapat limpahan kasih sayang yang sama. Dia gadis yang cerdas, ramah, supel, dan baik hati. Ini membuatnya banyak teman. Dia juga senang menulis puisi dan sering mengirim karyanya ke mading. Beban hidup Keke bertambah, saat ia harus menghadapi kenyataan menyakitkan. Divonis kanker di usia yang masih sangat muda, 13 tahun. Namun, aku benar-benar kagum pada ketabahannya menjalani hidup di tengah sakit kanker yang menggerogotinya. Gejala awalnya, dia sakit mata. Lalu perlahan daerah sekitar matanya membengkak. Lalu, sang ayah membawanya ke dokter spesialis, dan alangkah terpukulnya ayah saat mendengar vonis itu. Kanker jaringan. Kanker ini dengan ganas menyerang wajahnya, hingga akhirnya wajahnya penuh benjolan dan tampak aneh. Tapi sang ayah sengaja berbohong tentang penyakitnya pada Keke untuk menenangkan hatinya. Hingga pada akhirnya Keke tahu bahwa ia mengidap kanker. Namun ia sangat tabah dan kuat. Apalagi di sekelilingnya ada sahabat-sahabat dan kekasihnya, Andi yang masih menyayanginya meski ia sudah tak secantik dulu lagi.
          Ada satu hal yang sangat membuatku terharu dan makin kagum. Pada saat kanker itu sudah makin parah, dan para dokter di Jakarta sudah merasa tak sanggup mengobatinya. Bahkan saat dibawa ke Singapura pun, dokter di sana juga merasa tak sanggup membunuh kanker yang bersemayam di tubuh Keke, namun Keke tetap berusaha sabar dan ceria menghadapinya. Hingga akhirnya ia pulang ke Indonesia, dan pada waktu itu di sekolahnya hampir memasuki musim ujian. Hebatnya, meski dalam keadaan sakit, Keke tetap belajar. Dan pada saat ujian itu tiba, ia memaksakan diri untuk ikut ujian di sekolah, padahal keadaannya sudah sangat tidak memungkinkan. Parahnya, karena kanker itu sudah makin ganas menjalar ke seluruh tubuhnya, Keke jadi tidak bisa berjalan dan harus digendong untuk masuk ke ruang ujian. Untunglah ada supirnya yang selalu setia menggendong dan menungguinya selama dia ujian. Saat ujian terakhir di sekolahnya, di tengah keseriusannya mengerjakan soal, tiba-tiba hidungnya mimisan. Sang supir segera menggendong Keke ke kamar mandi, dan sekembalinya dari kamar mandi, ia sudah merasa tak kuat lagi untuk menulis. Dan yang menurutku paling luarbiasa, dia meminta ijin pada pengawas untuk menjawab soalnya secara lisan, sementara sang supir yang menuliskan jawabannya di lembar jawaban. Begitu semangatnya ia mengikuti ujian. Dan amazing! Pada saat pengumuman hasil ujian, nilai Keke masuk peringkat tiga terbaik di kelasnya! Saat Ramadhan tiba, di tengah sakitnya, ia tetap berpuasa meski tidak maksimal.
          Aku menyusutkan air mata lagi, saat membaca bab terakhir novel yang juga telah difilmkan itu. Walau pun semangat dan tekad Keke untuk survive dan sembuh dari kankernya begitu besar, namun tetap Allah yang menentukan. Tepat tanggal 25 Desember 2006 jam 11 malam, Keke menghembuskan napas terakhir. Saat itu, ia duduk di bangku kelas satu SMA. Ada satu pesan yang diucapkan gadis kelahiran 19 Juni 1991 ini yang selalu kuingat. Satu hal di dunia ini yang paling penting adalah pendidikan. Aku berharap, ketika aku pergi,setidaknya aku mendapat banyak ilmu yang bisa kusimpan dalam otakku yang penuh dengan kanker ini. Aku harap, bila kalian mampu menyimpan lebih banyak ilmu dariku, lakukanlah. Karena itu hal yang paling indah.
          Keke, meskipun aku tak mengenalmu secara langsung, tapi aku merasa begitu dekat denganmu lewat Surat Kecil untuk Tuhan ini. Terima kasih atas inspirasi yang telah kamu berikan untukku. Semoga kamu tenang di haribaan-Nya. Amiin.